Pengangguran.
Bangun jam 9 pagi, cuci muka, duduk memangku laptop di teras rumah sambil nyuri
wifi tetangga, sesekali melihat siapa saja yang melewati jalanan di hadapannya.
Pria paruh baya bertopi mendorong gerobak biru menyusuri jalanan kecil beraspal,
bakul mie ayam. Pukul 10 pagi, sang pengangguran menerka-nerka. Dan benar,
bunyi sepeda motor matic berhenti di seberang rumah. Sang ibu rumah tangga
habis menjemput anaknya yang masih TK. Sang anak melambai pada sang pengangguran.
Benar jam 10 pagi, batinnya.
Pengangguran.
Pantang nutup laptop sebelum punggung kesakitan. Mengeksplorasi isi rumah
mencari satu dua suap nasi untuk mempertahankan eksistensinya. Sial! Tersisa
nasi bekas kemarin, keras, dirubung lalat. Menengok ke jalanan, celingak
celinguk mencari kepastian, adakah bakul bakso ngetem di pertigaan jalan? Senangnya, sudah ada disana rupanya.
Kukumpulkan 1000 rupiah di atas kulkas, mencari 2000 rupiah sisanya di dalam
tas. Ohh, kurang 500 rupiah. Gresek-gresek saku celana, celana ibuk, celana
bapak. Beruntungnya, dapat 2000 rupiah. Sang pengangguran, menikmati panasnya
bakso dan terik siang matahari.
Orang
bilang, pengangguran itu manusia tanpa beban. Bebas bangun siang. Makan tinggal
nyari di meja, nggak perlu mikirin kerjaan, hidup santai tanpa kesibukan. Yang
bilang! Biarkan yang berpengalaman yang berbicara. Pengangguran memikul beban
lebih besar dari manusia berseragam. Ditekan oleh beratnya kehidupan. Dihantui
oleh ketidakmampuan diri. Memikul cita-cita yang kini tiada pasti. Idealis yang
tadinya dijunjung tinggi, dirobohkan dengan fakta kehidupan yang mau tidak mau
harus diratapi.
Indaaaah yang ini tulisannya bagus :"
BalasHapusmakasih ta :"
Hapus